Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan
23 Juni sebagai World Seafarer Day atau Hari Pelaut Sedunia.
Pelaut bukan semata mereka yang bekerja di kapal niaga, melainkan termasuk pula
pelaut lain, seperti di kapal wisata, atau nelayan pencari ikan. Bahkan di
Indonesia, secara kuantitatif jumlah pelaut perikanan adalah 2.231.700 orang,
jauh lebih besar dari pelaut niaga.
Tulisan ini mengulas masalah yang dihadapi para
pelaut perikanan maupun para nelayan, yang dikategorikan menjadi tiga: pelaut
perikanan yang bekerja di kapal penangkap ikan milik bangsa asing, pelaut
perikanan pada industri perikanan dalam negeri, dan pelaut perikanan
tradisional atau nelayan tradisional.
Pelaut Perikanan di Kapal Asing
Para pelaut perikanan Indonesia banyak bekerja di kapal ikan Jepang, Korea Selatan, Spanyol, dan beberapa negara lainnya. Jepang makin bergantung pada pelaut Indonesia. Pemuda Jepang enggan bekerja di laut. Walau orang Jepang senang mengonsumsi ikan, bekerja di laut dianggap rendah;kikken, kikui, dan kitanai, artinya kasar, berisiko tinggi, dan kotor. Masalah “keselamatan” pelaut perikanan juga mendapat perhatian dunia. Menurut data Food and Agriculture Organization, setiap tahun di dunia terdapat 24 juta kecelakaan pada pelaut perikanan, di antaranya 24.000 kecelakaan yang merenggut nyawa. Dengan demikian, rata-rata kecelakaan fatal para pelaut perikanan mencapai 80 orang per 100.000 nelayan.Dalam hal keselamatan di laut ini, International Maritime Organization (IMO) telah menetapkan STCW bagi pelaut niaga dan STCW-F (Standard of Training and Certification for Watchkeeping Personnel at Fishing Vessel) bagi pelaut perikanan. Lalu International Labor Organization juga mengeluarkan Konvensi No 188 tentangWork in Fishing Convention. Hanya saja, bagi negara berkembang ada perkecualian melalui Pasal 3, yang karena kondisi ekonomi belum memungkinkan untuk menerapkannya, asalkan disepakati tiga pihak, yakni unsur pemerintah, perusahaan, dan pelaut perikanan di negara bersangkutan. Indonesia juga belum meratifikasi dua konvensi di atas. Akibatnya para pelaut perikanan kita di luar negeri tergolong kelas rendah, dengan konsekuensi upah mereka juga rendah.
Ditelan Ombak Besar
Di Indonesia tingkat kecelakaan pelaut perikanan relatif
tidak tinggi, namun tergantung lokasinya. Djodjo Suwardjo, dalam kajiannya (2008-2009)
mendapati nelayan Cilacap yang menggunakan alat tangkap mini long-line mempunyai
angka kecelakaan fatal yang cukup besar, yaitu 235 orang per 100.000 nelayan.
Alat tangkap jenis ini dalam pengoperasiannya tidak berisiko, namun kondisi
perairan selatan Pulau Jawa termasuk ganas. Nelayan Tegal yang menggunakan alat cantrang dengan
pengoperasian yang relatif berisiko, namun dalam perairan yang relatif tenang
di Laut Jawa, masih menunjukkan angka kecelakaan yang agak tinggi, yakni 115
orang per 100.000 nelayan. Ini berarti di dua lokasi yang dikaji memiliki angka
kecelakaan fatal yang lebih tinggi dari angka rata-rata dunia. Namun, sebagian besar kecelakaan
fatal tersebut terjadi dalam kondisi ombak besar, yakni 87,5 persen. Melihat fenomena tersebut, kiranya perlu dikaji serius untuk
segera meratifikasi STCW-F maupun Work in Fishing Convention.
Dipelajari cara-cara penerapannya, dan diusahakan pemecahannya apabila terdapat
hal-hal yang berdasarkan pertimbangan sosial dan ekonomi masih belum memungkinkan
diterapkan. Upah para pelaut perikanan di dalam negeri juga harus ditingkatkan,
mengingat tingginya risiko.
Nelayan Tradisional
Bagi nelayan tradisional, selain menghadapi keganasan alam
mereka juga miskin. Hidup para penghuni pesisir dan pulau-pulau kecil di
Indonesia dipengaruhi dari tiga faktor. Pertama, sebagai negara yang berbentuk
kepulauan, tentu wilayahnya sebagian besar berupa laut. Kedua, sebagai negara tropis memiliki curah hujan yang
relatif tinggi. Ketiga, adanya pergerakan posisi matahari ke utara dan selatan
khatulistiwa menyebabkan terjadinya perubahan musim, ada musim barat dan musim
timur. Pada pergantian tahun lalu, banyak pelaut perikanan selama
lebih dari tiga bulan tak melaut karena ombak besar. Para penghuni pulau kecil
banyak yang terisolasi kehabisan suplai logistik. Pelaut perikanan yang
menggunakan kapal besar, kalau ombak tidak terlalu tinggi masih bisa
mengalihkan daerah penangkapan ikan. Pada musim timur menangkap ikan di Selat
Karimata, dekat Sumatera. Adapun saat musim barat beralih ke Masalembo, dekat
Sulawesi. Adapun nelayan kecil lebih memilih tinggal di rumah, hidup dari
utang, atau mencari mata pencarian alternatif. UUD 1945 hasil amendemen Pasal 25A berbunyi: “Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang berciri nusantara.”
Untuk implementasi amanat konstitusi, harus ada komitmen dan keberpihakan
atau affirmative actionterhadap realita negara kita sebagai negara
maritim. Permukiman nelayan yang senantiasa terancam bencana alam,
mitigasi bencana secara sistemis perlu dilakukan. Kesejahteraan pelaut
perikanan dan keluarganya perlu ditingkatkan. Di beberapa tempat, koperasi yang
dikelola dengan benar terbukti mampu menyejahterakan nelayan. Koperasi dapat
mendukung pemasaran, asuransi kecelakaan, permodalan, maupun jaminan paceklik. Terkait peningkatan kesejahteraan ini, pelaut perikanan yang
menetap di tempat terpencil dan pulau-pulau kecil mengalami kesulitan
transportasi serta fasilitas lainnya. Fasilitas pendidikan dan kesehatan sering
kali memprihatinkan sehingga meningkatkan angka putus sekolah serta tingginya
angka kematian.
Desa Binaan
Peningkatan kompetensi nelayan tak bisa ditunda, mengingat
proporsi nelayan kecil yang sangat besar jumlahnya, dengan tingkat pendidikan
rendah. Pelatihan on the spot atau mobile training bisa menjadi alternatif
utama. Para pelatih yang harus mendatangi perkampungan nelayan lalu memutuskan
bersama jenis pelatihan yang dibutuhkan. Kegiatan semacam ini banyak dilakukan
sejak 1970-an. Perguruan tinggi atau lembaga penelitian, pendidikan, dan
pelatihan sebaiknya memilih beberapa desa nelayan menjadi “desa mitra”-nya,
atau yang di era Orde Baru dulu terkenal dengan sebutan Desa Binaan. Lembaga yang memiliki tenaga ahli dan fasilitas ini dapat
secara fokus menjadi mitra pengembangan desa nelayan yang tertinggal. Pola
pemberdayaan desa ini banyak dilakukan pada 2000-2006, yang kini kiranya perlu
diaktifkan kembali. Guna memutus rantai kemiskinan dan keterbelakangan,
program affirmative actionterhadap putra-putri nelayan bisa
diteruskan. Namun tetap harus melihat realitas kondisi tingkat pendidikan
terakhir anak nelayan yang mayoritas rendah, serta untuk menjaga kualitas
perguruan tinggi agar tetap berstandar mutu internasional,affirmative action ini
dilakukan dengan jumlah yang proporsional. Misalnya untuk tingkat sekolah menengah kejuruan
40 persen dari siswa yang diterima, tingkat diploma-3 25 persen dari calon
mahasiswa, tingkat diploma-4 atau strata-1 10 persen, sedangkan tingkat
strata-2 5 persen. Tentu saja bagi anak nelayan yang memang sudah berkemampuan
akademis baik dapat diterima, tanpa harus dimasukkan sebagai peserta yang
berdispensasi khusus.
Sumber : SINAR HARAPAN, 27 Juni 2012